Saturday 8 November 2025 - 23:12
Pesan Abadi Sayyidah Fatimah (sa): Kebenaran Harus Dibela, Wilayah Harus Dijaga

Hawzah/ Hujjatul Islam wal Muslimin Abtahi menyatakan bahwa penghormatan terhadap teladan hidup Sayyidah Fatimah Zahra (sa) tidak cukup hanya dengan memperingati hari duka, melainkan harus diwujudkan dalam bentuk pengenalan terhadap kedudukan wilayah, penjagaan identitas keagamaan, dan keteguhan dalam menghadapi penyimpangan sosial.

Berita Hawzah – Hujjatul Islam wal Muslimin Muhammad Sadiq Abtahi, dalam acara malam ketiga Fatimiyah yang diselenggarakan oleh Himpunan Pejuang Islam “Muhibban Yusuf Zahra (sa)” di kompleks makam para syuhada Isfahan, menyatakan bahwa teladan hidup Sayyidah Fatimah Zahra (sa) merupakan peta jalan bagi identitas keagamaan masyarakat.

Beliau menegaskan: “Seandainya Sayyidah Fatimah Zahra (sa) tidak turun ke medan perjuangan pada masa yang begitu kritis dan menentukan, serta tidak membela kebenaran, maka tidak akan tersisa jejak Islam, Al-Qur’an, dan wilayah.”

Abtahi menambahkan bahwa keberagamaan umat Islam saat ini merupakan buah dari pengorbanan dan kehadiran sadar Sayyidah Zahra (sa). “Dalam suasana penuh tekanan dan pembungkaman saat itu, bahkan Imam Ali (as) tidak memiliki ruang untuk berbicara dan menjelaskan. Satu-satunya suara yang menggema di tengah masyarakat adalah seruan Sayyidah Zahra (sa)—seruan yang diwujudkan dalam tangisan, khutbah, dan pernyataan ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada, yang mengguncang seluruh skenario yang dirancang untuk menghapus wilayah.”

Beliau merujuk pada khutbah terkenal Sayyidah Zahra (sa) di hadapan para wanita Muhajirin dan Anshar, dan menjelaskan: “Ketika para wanita Madinah datang menjenguk dan menanyakan kondisi beliau, Sayyidah Zahra (sa) tidak mengucapkan satu pun kalimat tentang keadaan fisiknya. Seluruh isi pembicaraannya adalah pembelaan terhadap Imam Ali (as) dan penjelasan tentang penyimpangan yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah (saww).”

Abtahi melanjutkan: “Sayyidah Zahra (sa) menegur mereka karena telah menjauh dari jalan Rasulullah (saww), meninggalkan prinsip-prinsip kenabian, dan berpaling dari rumah yang dahulu menjadi tempat turunnya wahyu melalui Jibril.”

Sebagai seorang ulama, beliau menekankan bahwa penyimpangan tersebut merupakan kerugian nyata bagi umat. “Ucapan Sayyidah Zahra (sa) bukan sekadar protes terhadap sebuah peristiwa sejarah, melainkan prediksi tentang dampak penyimpangan dari wilayah—prediksi yang terbukti sejak masa itu hingga kini, dan tetap relevan bagi masyarakat zaman sekarang.”

Beliau menambahkan bahwa dalam kondisi sakit dan di hadapan para wanita Muhajirin dan Anshar, Sayyidah Zahra (sa) menyampaikan lima karakter utama Imam Ali (as) sebagai bentuk pembelaan terhadap kedudukan beliau, karakteristik yang saat itu tidak mampu ditanggung dan diikuti oleh masyarakat. Diantaranya adalah:

  1. Ketegasan pedangnya dalam membela kebenaran.
  2. Keberanian dan keteguhan dalam menghadapi ancaman.
  3. Keteguhan dalam menolak penyimpangan
  4. Ketegasan terhadap pelanggaran hukum dan penyimpangan sosial
  5. Ketenggelaman dalam ibadah dan pencarian ridha Allah.

Abtahi menegaskan bahwa kelima karakter ini membuat sebagian orang tidak mampu menerima Imam Ali (as) dan menjauh darinya.

Abtahi juga menyampaikan bahwa beberapa pemikir non-Muslim mengakui bahwa Imam Ali (as) adalah sosok yang melampaui kapasitas pemahaman masyarakat zamannya. “Kini, ketika manusia telah menjelajah langit dan galaksi, kebutuhan terhadap bimbingan intelektual dan spiritual Imam Ali (as) semakin besar,” ujarnya.

Beliau menyinggung kedalaman khutbah-khutbah Nahjul Balaghah, seperti khutbah Asybah, yang hingga kini belum sepenuhnya dipahami oleh para penafsir. Sayyidah Fatimah (sa) menyatakan bahwa jika Imam Ali (as) menjadi pemimpin kalian, beliau akan menasihati kalian secara terang dan tersembunyi, menjadi penolong kalian, tidak mengambil keuntungan duniawi, dan hidup dengan kesederhanaan. “Imam Ali (as) menghadiri khutbah Jumat dengan satu pakaian sederhana yang dikibaskan agar cepat kering,” tambahnya.

Dalam kisah bersama Utsman bin Hunaif, Imam Ali (as) menyatakan bahwa beliau bisa saja memilih makanan terbaik, namun tidak membiasakan diri pada kemewahan. “Pada hari yang panas, ketika disuguhkan faludah, beliau hanya menyentuhnya dan berkata: ‘Baik, tapi aku tidak membiasakan diri dengan ini.’”

Dalam riwayat lain, Imam Ali (as) membuka kantong makanan yang disegel, memakan sepotong roti jelai dengan air, lalu menyegelnya kembali agar tidak diganti oleh anak-anaknya dengan makanan yang lebih baik.

Sayyidah Fatimah (sa) menyatakan bahwa Imam Ali (as) adalah zahid sejati, pemisah antara pencari dunia dan pencari kebenaran, serta pembeda antara yang jujur dan yang dusta. “Jika beliau menjadi pemimpin, karakter seperti ini akan tampak jelas di tengah masyarakat,” ujar Abtahi.

Beliau menambahkan: “Kita memang tidak melihat Imam Ali (as) secara langsung, tapi sejarah mencatatnya. Hari ini, putra Imam Ali (as), Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam, menjalani kehidupan yang paling sederhana. Dokter beliau menyatakan bahwa dalam hal konsumsi buah, beliau meminta agar dibelikan buah kelas dua atau tiga.”

Dalam salah satu pertemuan, terlihat bahwa karpet tempat duduk beliau sudah usang. “Gaya hidup seperti inilah yang membuat beliau mampu berdiri tegak menghadapi dunia,” kata Abtahi. “Almarhum Behlu mengatakan: ‘Orang-orang mengenal saya sebagai zahid, tapi Pemimpin Tertinggi lebih zahid dari saya. Saya hidup sederhana karena tidak punya, tapi beliau punya segalanya dan tidak menggunakannya.’”

Beliau menutup dengan menyatakan: “Selama masa kepemimpinannya, tidak ada satu titik hitam atau bahkan abu-abu dalam kehidupannya. Maka menjadi kewajiban kita untuk mengenali kedudukan ini. Hari ini, beliau adalah pembawa panji gerakan global menuju masa kemunculan.”

Tags

Your Comment

You are replying to: .
captcha